Jumat, 17 Oktober 2008

Mengelola Kawasan Adat: Sebuah pembelajaran dari kampung Bunyau

* Abdias Yas
(Pendamping Hukum Rakyat-LBBT)

Gambaran Masyarakat Bunyau
Kampung Banyau termasuk kampung kecil yang sepintas mengesankan kampung yang tenang, damai, aman, tentram. Apalagi sikap penuh rasa kekeluargaan sungguh masih sangat kental dipraktekan oleh warganya. Kehidupan seperti ini memang telah diturunkan dari masa ke masa oleh generasi pendahulunya.

Dalam administrasi pemerintahan, dusun Bunyau termasuk dalam wilayah desa Landau Leban kecamatan Menukung Kabupaten Melawi Kalimantan Barat. Dari pusat kecamatan, kota Menukung berjarak 10 km dan bisa dicapai dengan berjalan kaki selama 3,5 jam dan menggunakan kendaraan roda dua (sepeda motor) selama kurang lebih 15 menit perjalanan. Media untuk mengakses informasi adala radio dan televisi. Akses komunikasi (telepon seluler) sejak tahun 2007 sudah terjangkau dari kampung ini.

Masyarakat yang mendiami kampung Bunyau adalah suku Dayak Limbai yang merupakan suku terbesar di Kecamatan Menukung yakni meliputi 25 kampung. Bahkan suku Dayak Limbai masih terdapat di kecamatan Kayan Hulu dan kecamatan Serawai.

Menurut data pemerintahan dusun Juli 2007, jumlah penduduk kampung Bunyau adalah 300 orang, dengan 184 orang laki-laki dan 116 perempuan. Dalam berkomunikasi sehari-hari, mereka menggunakan bahasa Dayak Limbai, namun kalau berkomunikasi dengan orang luar, maka mereka berusaha menggunakan bahasa Indonesia.

Mayoritas warga kampung Bunyau beragama Katolik. Kampung ini memiliki beberapa fasilitas umum seperti gedung Gereja, gedung Sekolah Dasar, dan sarana air, jalan raya, alat pegolahan sawah. Kebanyakan fasilitas umum tersebut diadakan secara swadaya oleh masyarakat. Hanya beberapa diantaranya yang mendapat bantuan dari pemerintah. Pekerjaan penduduknya adalah petani (ladang, sawah, karet) namun ada juga sebagian yang bekerja sebagai buruh di penambangan emas rakyat.

Hubungan kekeluargaan masih sangat kental mewarnai kehidupan dan interaksi masyarakat sehari-hari. Namun tidak berarti mereka tidak saling kritis terhadap sesama. Pertentangan pendapat dan saling kritik merupakan hal yang biasa. Mereka menganggapnya sebagai dinamika kehidupan yang kadang kala terjadi. Perbedaan pendapat tidak membuat mereka tidak kompak dalam melaksanakan sesuatu yang sudah menjadi keputusan bersama.
Dalam mengambil keputusan selalu melalui musyawarah dan mufakat. Dalam musyawarah semua warga memiliki hak yang sama, termasuk juga kaum perempuan. Kenyataan memang menunjukan bahwa kaum perempuan kurang berpartisipasi dalam rapat dan musyawarah kampung serta menjadi pemimpin.

Dalam mengerjakan sesuatu, masyarakat Bunyau cenderung melakukannya secara berkelompok. Hanya kelompok tersebut biasanya terbatas. Misalnya dalam hal membuat sawah, menanam karet, berkebun, menambang mas dan sebagainya.

Sekitar 70% dari luasan wilayah adat kampung Bunyau ditumbuhi ilalang. Namun saat ini, masyarakat sudah mulai menanami hamparan padang tersebut dengan karet. Walaupun ada kesulitan yang selalu berulang yakni terkadang ketika musim kemarau, karet yang mereka tanam terbakar bersama dengan terbakarnya ilalang. Hutan lebat masih terdapat di bukit Bunyau, sepanjang pinggiran sungai, gupung dan di sekitar perkampungan.

Sistem pemerintahan Lokal

Terdapat dua system pemerintahan yang berlaku di kampung Bunyau yaitu pemerintahan adat dan pemerintahan formal (desa, dusun). Pemerintahan Adat adalah Ketemenggungan. Terdapat 4 ketemenggungan pada suku Dayak Limbai di Kecamatan Menukung yaitu Ketemenggungan Pelaik Keruap, Ketemenggungan Batas Nangka, Ketemenggungan Mawang Mentatai dan Ketemenggungan Siai.

Ketemenggungan Pelaik Keruap meliputi kampung pelaik Keruap, Tanjung Beringin, Entubu, Lalau, Guhung Keruap, Pongga Hulu, Teluk Rabin, Labang Manyam. Ketemenggungan Batas Nangka meliputi kampung Bunyau, Batas Nangka, Landau Leban, Kenolin, Lengkong Sangsang, Nusa Pauh, Lanjau, Trapao Mawan. Ketemenggungan Mawang Mentatai meliputi kampung mawang mentatai, mengkilau, Nusa poring, Dawai, sekujang, beloyang dan dan Ketemenggungan Siai meliputi kampung siai, sungkup.

Kampung Bunyau berada di bawah Ketemenggungan Batas Nangka. Dalam catatan sejarah, Temenggung yang pernah bertugas di ketemenggungan Batas Nangka adalah Temenggung Keneng sampai tahun 1958 yang berdomicili di Kenolin, Temenggung Akah dari tahun 1958-1974 berdomicili di Batas Nangka, dan Temenggung Senarong hingga sekarang berdomicili di Kenolin. Temenggung Batas Nangka ini wilayah kekuasaannya berbatasan dengan ketemenggungan Pelaik Keruap dan Ketemengungan Mawang Mentatai.[1]
Sejak keluarnya UU No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, maka berlakulah sistem pemerintahan desa dan dusun. Sistem pemerintahan Ketemenggungan terpecah dan tidak utuh lagi. Kebijakan tersebut, sebagaimana diulas oleh banyak teori pascareformasi, berdampak negatif terhadap pemerintahan adat dan kehidupan sosial politik masyarakat desa. Terjadi tumpang tindih anatara kewenangan pemimpin pemerintahan adapt (temenggung dengan pemerintahan formal (kepala Desa). Kaburnya kewenangan dan batas wilayah tersebut membingungkan masyarakat adat, terutama dalam upaya penyelesaian sengketa atau persoalan-persoalan lain yang mereka hadapi. Selain itu, hadirnya desa membuat pengurus adat seperti temenggung dan ketua adat menjadi kurang proaktif dalam menyelesaikan masalah karena mengira persoalan itu menjadi kewenangannya kepala desa atau kepala dusun.

Sejarah Kampung Bunyau
Untuk menelusuri sejarah keberadaan Kampung Bunyau, maka tidak terlepas dari sejarah suku Dayak Limbai umumnya. Asal masyararakat Dayak Limbai yang ada di kampung Bunyau sekarang pertama adalah dari kampung Nanga Man kecamatan Ela Hilir. Mereka pertama menetap di daerah Sungai langer (Gupung Koli)[2]. Salah satu pemimpin kampung ini bernama Pangpirak. Perpindahan penduduk dari kampung Sungai Langer ini akibat terjadi penyerangan (ngayau) yang dilakukan oleh suku Lainnya[3]. Penyerangan ini menyebabkan istri Pangpirak yang sedang hamil terbunuh.[4] Pangpirak dan putranya beserta penduduk lainnya menyelematkan diri. Mereka kemudian terpencar ke berbagai tempat seperti masuk Landau leban, lengkung sangsang, masuk sungai Mentatai, Ela Hulu, dan ada yang masuk ke sungai Bunyau yang sekarang dikenal dengan gupung[5] Temengung. Dari Gupung Temenggung inilah kemudian mereka menjalani hidup berpindahnya (nomaden) dari satu tempat ke tempat lainnya.

Suku Dayak Limbai yang mendiami kampung Bunyau sekarang ini adalah mereka yang berasal dari Sungai Langer (gupung Koli) dan pindah ke Laman Temenggung (Gupung Temenggung). Setelah di Gupung Temenggung, mereka berpindah lagi ke beberapa tempat seperti diantaranya adalah Laman Antet, gupung bunyau, laman mati banyak. Dari Laman Mati Banyak, mereka sempat pergi bondau. Dari Bondau inilah mereka kemudian kembali dan menetap di Bunyau Sekarang ini[6].

Mengacu pada cerita di masing-masing Gupung, setidaknya ada tiga alasan terjadinya perpindahan penduduk dari gupung ke gupung lainnya yaitu:
1. Mencari tempat baru yang subur untuk membuat ladang, karena tempat lama sering terjadi kelaparan.
2. Menghindar dari serangan kampung lain (ngayau) seperti yang terjadi di Gupung Koli dan Gupung laman labang bulu bala
3. terjadi kematian tiba-tiba secara masal seperti terjadi di Laman Mati Banyak


Cara mendapatkan Wilayah Adat

Pada awalnya wilayah yang dihuni suku limbai yg ada di kampung Bunyau sekarang ini adalah wilayah yang belum berpenghuni (masih kosong). Sehingga masyarakat cukup dengan membuka ladang dan usaha lainya. Mereka kemudian membuat perkampungan (laman). Artinya mereka merupakan manusia pertama yang menghuni daerah atau wilayah mereka sekarang ini. Hal ini dibutkikan dengan Gupung-gupung yang ada, yang menunjukan penguasaan mereka atas wilayah tersebut.

Pembagian/peruntukan wilayah adat
Kawasan adat kampung Bunyau sudah tidak ada lagi yang berstatus kosong, nganggur, tidur, seperti yang disebutkan oleh pihak-pihak luar. Wilayah adat Bunyau sudah dibagi dan diperuntukan sesuai dengan potensi kawasannya dan keperluan masyarakat seperti wilayah perkampungan, kawasan perladangan, kawasan perkebunan karet dan tanaman sejenis, kawasan persawahan, Gupung/tempat keramat, Kawasan sumber air bersih, Sungai, Rawa, dan Rimba. Pada masing-masing kawasan tersebut berlaku aturan dan pola pengelolaannya tersendiri.


Kepercayaan masyarakat terhadap alam semesta
Alam semesta dengan segala yang terdapat didalamnya diyakini ada pemiliknya. Manusia, menurut mereka tidak terpisah dari alam semesta. Oleh karena itu, kalau alam ini rusak, maka kehidupan manusia pasti terganggu. Sehingga mereka mengistilahkan bahwa tanah adalah darah, daging dan nyawa mereka.[7]

Didalam wilayah kampung Bunyau terdapat daerah yang tidak boleh diganggu atau di jadikan ladang. Tempat tersebut adalah Gupung, Bukit, sungai dan kuburan (posar). Gupung tidak boleh diganggu karena menurut kepercayaan masyarakat adalah mali[8]. Mali karena di Gupung biasanya terdapat bukti-bukti peradaban suku di masa lalu seperti sandung temaduk, ugapm, tambak, dan pohon buah-buahan. Kalau diganggu roh nenek Moyang saja marah. Orang yang menggangu Gupung dianggap juga meremehkan atau melecehkan wali waris gupung tersebut, sehingga orang yang menggangu gupung pasti dihukum adat.

Bukit yang tidak boleh diganggu adalah bukit bunyau dan bukit adat. Bukit Bunyau dan bukit adat tidak boleh diganggu karena merupakan sumber penyedia ramu dan bahan bangunan rumah penduduk serta sebagai sumber resapan air sungai.

Jika terjadi pelanggaran terhadap Gupung, Bukit dan Sungai termasuk hak-hak lainnya, maka dikenakan hukuman adat sesuai dengan hal yang dilanggarnya. Seperti misalnya pelanggaran terhadap gupung. Adat pelanggar gupung adalah ulun 8[9]. Selain itu sipelanggar dikenakan adat Sengkolan. Adat Sengkolan diterapkan untuk memulihkan alam gaib, walaupun terkadang si perusak tetap kena badi karena perbuatannya tidak dimaafkan oleh roh leluhur.


Batas Wilayah
Masyarakat adat suku Limbai di Kecamatan Menukung yang terdiri dari empat ketemggungan, jauh-jauh hari telah menyepakati batas ketemenggungan dan batas kampung. Berikut ini adalah batas kampung Bunyau dengan kampung lainnya, batas ketemenggungan dan batas pemerintahan desa.
a. Batas kampung Bunyau dengan kampung Pelaik Keruap: mulai dari gupung Oyah Nului ke teratak temiang, naik ke batu ningur,
b. Batas kampung Bunyau dengan entubu dan Lalau; mulai dari batu ningur ke sungai buluh,
c. Batas kampung Bunyau dengan Guhung Keruap: mulai sungai buluh turun ke mugut.
d. Batas kampung Bunyau dengan Batas nangka: dari guhung mugut melah bukit bunyau turun ke hulu sungai tapal lucak.
e. Batas kampung Bunyau Dengan Trapao Mawan: Mulai dari hulu sungai Tapal ke sungai Sopan Kelasi lalu ke natai gitak terus ke sungai melaban sampai ke nanga tapal lalu nanga kenebak.
f. Batas kampung Bunyau dengan oyah: mulai dari nanga kenebak ke gupung laman ranu sampai gupung oyah nului.
g. Batas kampung Bunyau dengan bondau: di gupung oyah Nului.
Kesepakatan batas seperti telah disebutkan diatas walaupun tidak tertulis namun diketahui oleh masing-masing kampung. Batas wilayah Adat tidak menghilangkan hak kepemilikan pribadi orang kampung yang telah terlanjur ada di dalam wilayah adat kampung Bunyau. Selain itu juga tidak menghalangi kampung lainnya yang mau berusaha ke wilayah kampung Bunyau, asalkan mengikuti aturan dan diizinkan oleh pengrus adat kampung Bunyau. Pelanggaran terhadap Kesepakatan tentang batas kampung akan dikenakan hukum adat ” pemungkir janji” dan bisa juga hukum adat perampasan hak. Nilai pemungkir janji itu 1 ulun. Perampasan hak sesuai dengan nilai hak yang dirampas. Misalnya kalau merampas tanah, dihitung luasan tanah tersebut.


[1] Informasi dari Temenggong suku Limbai Bapak Senarong saat diskusi malam tanggal 29 Mei 2003 di pastoran Menukung.
[2] Sekarang merupakan salah satu Gupung yang bersejarah dan masih terjaga dengan baik yaitu Gupung Laman Sungai Langir atau sering dikenal dengan Laman Koli
[3] Narasumber tidak mengetahui persis suku yang menyerang kampung dan keluarga Pangpirak waktu itu.
[4] Menurut cerita, istri Pangpirak diambil kepalanya termasuk kepala jabang bayi yang ada di perutnya, oleh si Pengayau.
[5] Gupung sama dengan tembawang, yaitu bekas pemukiman yang sudah ditinggalkan. Ada gupung yang bukan merupakan bekas laman, misalnya hanya tempat pondok ladang. Nama gupung mencerminkan peristiwa yang terjadi pada masa lerhidupan di pemukiman tersebut.
[6] Keluarga yang pindah ke Kampung Bunyau adalah keluarga Pak Matae
[7] Lihat pernyataan sikap dan kesepakatan tanggal.......yang dikirim ke kepala Desa Menukung
[8] Mali maskudnya kalau suatu tempat diganggu maka orang yang mengganggunya bisa badi. Badi itu berwujud orangtersebut sakit-sakitan bahkan sampai mati.
[9] Ulun adalah satuan denda adat. Satu ulun sama nilainya dengan 100 gantang padi. Mengingat zaman sekarang sulit mencari padi, tempayan dan sebagai itu, maka diperbolehkan diuangkan.

 
© free template by Blogspot tutorial